Pemetaan Konflik Mesir
Dina Y. Sulaeman*
Pengantar: Dalam artikel panjang ini penulis akan melakukan pemetaan konflik dengan harapan agar publik bisa melihat situasinya dengan lebih jernih. Ini penting karena opini publik Indonesia atas konflik ini terlihat mulai keruh oleh sikap-sikap takfiriah. Yang tidak mendukung Mursi dituduh anti-Islam. Bahkan banyak yang seenaknya berkata: yang anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!). Jelas ini pernyataan yang tidak logis, tidak cerdas, dan semata didasarkan pada kebencian yang membabi-buta. Sebaliknya, yang menolak kudeta pun, belum tentu pro-Mursi atau pro-takfiri. Bahkan, negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Iran. Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab Saudi.
(1) Ikhwanul Muslimin
Muhammad Mursi, doktor lulusan AS dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) naik ke tampuk kekuasaan dengan memenangi 52% suara dalam pemilu bulan Juni 2012. Jumlah turn-out vote saat itu hanya sekitar 50%. Artinya, secara real Mursi hanya mendapatkan dukungan seperempat dari 50 juta rakyat Mesir yang memiliki hak suara (karena ‘lawan’ Mursi saat itu hanya satu orang, Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak). Dalam posisi seperti ini, bila benar-benar menganut azas demokrasi, idealnya Mursi melakukan pembagian kekuasaan dengan berbagai pihak.
Awalnya, Mursi memang memberikan sebagian jabatan dalam kabinetnya kepada tokoh-tokoh yang tadinya berada di pemerintahan interim militer. Namun sikap kompromistis Mursi tak bertahan lama. Pada bulan Agustus 2012, Mursi mulai melakukan ‘pembersihan’ di tubuh pemerintahannya. Bahkan pada bulan November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen (yang didominasi Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan. Dekrit ini ditentang kaum sekuler dan minoritas karena mengkhawatirkan produk UU yang meng- ‘Ikhwanisasi’ Mesir. Mereka pun berdemo besar-besaran di Tahrir Square.
Situasi semakin memanas seiring dengan sikap sektarianisme yang ditunjukkan para aktivis IM dan aliansi utama mereka, kalangan Salafi. Bila pada era Mubarak semua sikap politik-relijius dari semua pihak diberangus, pada era Mursi yang terjadi adalah pembiaran kelompok berideologi takfiri (gemar mengkafirkan pihak lain) untuk menyebarluaskan pidato-pidato kebencian melalui berbagai kanal televisi dan radio.
Tidak cukup dengan pidato, aksi-aksi kekerasan fisik pun mereka lakukan. Korban sikap radikal mereka ini bahkan ulama Al Azhar. Pada 28 Mei 2013 kantor Grand Sheikh Al Azhar diserbu kelompok takfiri yang meneriakkan caci-maki, menyebut Al-Azhar sebagai institusi kafir. Tudingan ini dilatarbelakangi sikap moderat yang selalu diambil ulama Al Azhar dalam berbagai isu. Label kafir memang sering disematkan oleh pihak pro-Mursi terhadap para penentangnya. Puncaknya adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Syiah yang sedang mengadakan acara maulid Nabi di kawasan Zawiyat Abu Musallem.
Dalam kebijakan luar negerinya, Mursi pun tidak mendahulukan kepentingan nasional Mesir, melainkan kepentingan ideologis transnasional IM. Dalam konflik Suriah misalnya, di mana IM Suriah berperan aktif, Mursi memilih berpihak kepada kelompok oposisi. Mursi bahkan menjadi tuan rumah bagi muktamar para ulama di Kairo pada Juni 2012 yang merekomendasikan jihad, bantuan dana, dan suplai senjata untuk pemberontak Suriah. Ratusan jihadis asal Mesir pun ternyata sudah tewas di Suriah. Istilah gampangnya: negara sedang susah kok malah menghabiskan energi untuk ngurusin perang dinegara lain?
Terhadap Israel pun, Mursi tidak menunjukkan sikap tegas: tetap mempertahankan hubungan diplomatik dan melakukan kebijakan anti-Palestina. Pada bulan Juli 2012, rezim Mursi sempat membuka gerbang Rafah. Namun sejak Agustus 2012, gara-gara ada 16 tentara Mesir yang dibunuh teroris, Mesir kembali menutupnya.Tidak seperti yang banyak diberitakan media pro-Mursi, sesungguhnya pada era Mursi-lah terowongan-terowongan penghubung Gaza-Rafah ditutup (puncaknya pada Februari 2013). Ratusan terowongan itu merupakan lifeline rakyat Gaza, jalur yang memberikan mereka kehidupan. Terowongan-terowongan itulah yang memberi mereka akses keluar-masuk yang sangat dibutuhkan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup, termasuk makanan dan obat-obatan, serta menjual barang produksi mereka agar mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perut, serta untuk membawa para penderita sakit ke rumah sakit di Mesir.
Sikap politik Mursi-IM ini tentu saja kontraproduktif dengan kebutuhan mendasar masyarakat Mesir yang didera kesulitan ekonomi. Mereka dulu bangkit menggulingkan Mubarak karena sudah lelah menghadapi kemiskinan akibat kebijakan ekonomi liberal yang dijalankan Mubarak, yang bekerja sama dengan IMF dan korporasi Barat. Namun kini, kebijakan ekonomi Mursi justru tak jauh beda dengan Mubarak. Segera setelah meraih tampuk kekuasaan, Mursi mendapati bahwa kas negaranya hanya tersisa 14 milyar dollar. Untuk mengatasinya Mursi tidak melakukan langkah radikal seperti yang diambil negara-negara Amerika Latin yang memutuskan hubungan dengan lembaga rente Barat. Ia malah bernegosiasi dengan IMF. Dan untuk melunakkan protes dari kalangan Salafi, dalam sebuah pidatonya bulan Oktober 2012, Mursi menyatakan, “Ini bukanlah riba.”
Berbagai versi sikap Mursi ini (di satu sisi seperti Islam garis keras, tapi di satu sisi terlihat tetap berbaik-baik dengan Barat dan Israel), membuat yang memusuhinya bukan hanya kalangan liberal (yang mengkhawatirkan Ikhwanisasi Mesir), melainkan kalangan Islam radikal sendiri (yang menganggap Mursi kurang radikal). Itulah sebabnya, komposisi anti-Mursi sangat beragam, mulai dari liberal hingga Salafi.
(Catatan: Bagian ini adalah kutipan dari artikel karya penulis yang dimuat di Sindo Weekly Magazine No. 21-22. Analisis yang penulis ungkapkan di atas adalah hasil penelaahan dari berbagai sumber bacaan, namun terkonfirmasi oleh penjelasan Dubes Mesir untuk Indonesia –dalam wawancara yang berlangsung di Museum Konperensi Asia Afrika, 18/7/13; dan juga oleh Tariq Ramadan dalam salah satu tulisannya yang mengkritik Mursi. Tariq Ramadan adalah akademisi terkemuka, cucu Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.)
(2) Militer Mesir
Perlu dicatat pula bahwa kesalahan yang dilakukan Mursi dan IM selama setahun masa kepemimpinannya tidaklah membuat pihak yang berseberangan dengannya menjadi sosok protagonis. Mari kita cermati siapa saja tokoh yang akhirnya memegang kekuasaan pasca Mursi. Perdana Menteri pemerintahan interim bentukan militer adalah Hazem el-Beblawi, seorang ekonom berhaluan liberal. Mohamed El Baradei, yang diangkat sebagai Wapres untuk bidang Hubungan Internasional adalah partner setia Barat selama ini. Selain pernah menjabat Gubernur IAEA, Baradei adalah anggota Dewan Pengawas ICG (Internasional Crisis Group), LSM internasional yang didanai tokoh Zionis, George Soros, yang terlibat dalam berbagai konflik di dunia. Pasca tumbangnya Mubarak, Baradeilah yang digadang-gandang Barat untuk menjadi pengganti, namun dia tak mendapat banyak dukungan rakyat. Jangan lupakan pula Menlu Nabil Fahmy, yang pernah menjadi Dubes Mesir untuk AS selama sembilan tahun pada era Mubarak.
Naiknya tokoh-tokoh ini, jelas mengindikasikan adanya faktor AS dalam penggulingan Mursi. Sebagaimana ditulis Tariq Ramadan dalam bukunyaIslam and the Arab Awakening, adalah naif bila mengabaikan faktor AS dan negara-negara adidaya lain dalam menganalisis konflik Timur Tengah. Kepentingan ekonomi mereka di Timur Tengah sedemikian besar sehingga mereka akan sebisa mungkin melibatkan diri dalam setiap perubahan politik di kawasan ini. AS bersama Freedom House dan the National Endowment for Democracy, jauh sebelum tergulingnya Mubarak telah mendukung dan mendanai kelompok-kelompok pro-demokrasi Mesir. Padahal di saat yang sama, AS pun tetap menjalin kemesraan dengan Mubarak. Inilah wujudpolitical leveraging AS, bermain di dua kaki. Inilah yang dikatakan Tariq Ramadan, “Teman terbaik pemerintah Barat adalah mereka yang paling baik melayani kepentingan Barat, mereka bisa saja diktator, atau Islamis.”
Ketika pemerintahan hasil demokrasi Mesir kembali digulingkan, AS pun tidak banyak bereaksi. Bahkan pemerintah AS kini tidak lagi menyebut penggulingan Mursi sebagai ‘kudeta militer’ dan tetap akan mengirimkan F-16-nya ke Mesir (meski ada juga berita yang menyebutkan AS akan menundanya). Selama ini, setiap tahunnya AS memberikan bantuan sebesar 1,5 milyar Dollar kepada Mesir, sebagian besarnya dalam bentuk bantuan militer. Di sisi lain, Obama juga meminta agar militer membebaskan Mursi, seolah-olah Obama berpihak pada Mursi.
Bila dilihat dari kacamata demokrasi, yang terjadi di Mesir adalah kudeta yang bertentangan dengan konsep dasar demokrasi. Dogma demokrasi adalah 50%+1 bisa dianggap sebagai mayoritas rakyat dan suara rakyat adalah “suara Tuhan” yang harus dipatuhi semua rakyat.
(Catatan: Dalam wawancara penulis dengan Dubes Mesir untuk Indonesia,Bahaa El Deen Desouky, dia menyatakan bahwa situasi saat itu sudah sangatgenting. Demonstrasi rakyat Mesir yang menuntut Mursi mundur adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah Mesir. Mursi dan IM pun tidak melakukan langkah-langkah politik yang tepat untuk menangani masalah ini sehingga akhirnya militer ‘terpaksa’ mengambil alih kendali kekuasaan agar situasi tidak lebih kacau lagi. Saat penulis menyebutkan adanya dominasi AS dalam pemerintahan interim, Desouky menyanggahnya dan menyebut itu gosip media belaka).
(3) Respon Iran
Seperti telah disinggung pada pengantar tulisan, sikap Iran berbeda dibanding negara-negara Arab (dan AS-Israel, tentu saja). Demo anti Mursi dan IM sesungguhnya tidak terjadi baru-baru ini saja, melainkan sejak Mursi nekad mengeluarkan Dekrit 22 November. Setelah itu, diadakan referendum untuk mengesahkan UU produk parlemen baru dan hasilnya mayoritas peserta referendum menyatakan setuju. Meskipun peserta referendum hanya 33% dari seluruh pemilik suara, dari kaca mata demokrasi, tetap saja ini dianggap sah. Dan saat itu, Iran terang-terangan menyatakan dukungannya. Pada 25/12/12, Ahmadinejad mengucapkan selamat kepada Mursi dan mengatakan, “Saya yakin di era baru ini, bangsa Mesir akan bergerak menuju puncak kehormatan dan kemajuan.” Padahal di saat yang sama, pemberitaan media Barat hampir seragam: kelangsungan revolusi Mesir telah terancam; demokrasi telah disingkirkan oleh Ikhwanul Muslimin.
Sikap Iran ini cukup menimbulkan tanda tanya. Sebab, sikap Mursi dan IM selama ini justru berkali-kali merugikan Iran. Dalam acara KTT Gerakan Non Blok di Teheran, misalnya, Mursi justru berpidato menyerukan para anggota GNB untuk bersatu mendukung ‘perjuangan’ rakyat Suriah. Secara terang-terangan, Mursi menyebut pemerintah Suriah sebagai ‘rezim opresif’ dan menyatakan bahwa pihaknya mendukung kehendak rakyat Suriah untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan.
Pidato Mursi ini sangat melanggar etika diplomasi karena menampar muka Iran sebagai tuan rumah, yang sudah jelas berposisi mendukung pemerintah Suriah. Kalau Iran waktu itu bukan tuan rumah, Iran akan leluasa memberikan pidato balasan. Namun posisinya sebagai tuan rumah membuat Iran terpaksa diam demi menjaga keberlangsungan sidang. Selain itu, sikap Mursi jelas melanggar konvensi GNB yang menolak interferensi atas urusan internal negara lain. Kalaupun Mesir memiliki pendapat tertentu terkait Suriah, etikanya, disampaikan pada sidang-sidang perumusan deklarasi; dan nantinya akan dilakukan deklarasi bersama GNB terkait Suriah. Tak heran bila delegasi Suriah dalam KTT tersebut langsung melakukan aksi walkout saat mendengar pidato Mursi.
Segera setelah Mursi dipaksa lengser oleh militer, Iran mengeluarkan kecaman dan menyebut telah terjadi kudeta militer di Mesir. Padahal, di saat yang sama, Arab Saudi justru memberi selamat pada militer. Berdasarkan analisis-analisis politik yang dimuat di koran beroplah terbesar di Iran, Kayhan, bisa ditangkap bahwa sikap Iran ini disebabkan karena melihat kepentingan yang lebih global. Dalam pandangan Iran, keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti, Mubarak yang sangat ditakuti rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali berkuasanya militer (meskipun dengan alasan: kehendak rakyat), harapan ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.
Pertanyaannya, bukankah rakyat Mesir memang benar-benar berdemo besar-besaran untuk menuntut Mursi turun? Ada banyak analisis yang dikemukakan dalam hal ini. Namun, saya tertarik pada pernyataan seorang komentator di website Tariq Ramadan, “Saya ikut demo karena memang tidak menyukai kebijakan Mursi. Tapi saya sama sekali tidak menyangka bahwa akhirnya justru militer dan orang-orang pro-Barat yang berkuasa.”
Bila menggunakan kategorisasi Jean-Paul Sartre, ada tiga jenis gerakan rakyat melawan penguasa, yaitu pemberontakan, kebangkitan, dan revolusi. Revolusi adalah tingkat tertinggi sebuah gerakan rakyat, yang bermakna menghapus total sistem politik dan ekonomi rezim lama. Gerakan rakyat Mesir lebih tepat disebut sebagai kebangkitan karena tidak ada figur utama yang memimpin dan tidak ada kristalisasi ide perjuangan, sehingga tak banyak membawa perubahan nyata. Rakyat hanya bisa marah dan mengungkapkan kemarahannya terhadap rezim, namun tidak memiliki daya untuk membentuk pemerintahan baru. Atau mungkin, mereka memang tidak tahu pasti pemerintahan seperti yang apa yang tepat untuk mereka, karena ketiadaan figur pemimpin revolusi. Kemarahan mereka adalah nyata. Namun, secara real pula, kekuasaan tidak ada di tangan mereka. Lagi-lagi, elitlah yang mengambil alih. Sikap IM yang tak mau mengalah (padahal mengalah pun adalah sebuah strategi untuk menang) pun harus diakui bak memberikan bensin kepada api yang sedang menyala, sehingga membuka jalan bagi aksi represif militer. Apalagi, menyelamatkan jiwa lebih wajib daripada menyelamatkan kekuasaan. Dan rakyat Mesirlah yang menjadi korban utama: darah kembali tertumpah sia-sia, sementara perbaikan ekonomi entah kapan akan terwujud.
Penutup
Tumbangnya Mursi dan IM perlu dijadikan catatan bahwa mengusung Islam sebagai kendaraan politik ternyata tak semudah yang disangka. Sikap welas asih dan antisektarianisme, dan di saat yang sama tegas memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan kekuatan asing, tetap menjadi syarat utama untuk meraih simpati rakyat. Ini agaknya penting pula dicatat oleh para aktivis muslim Indonesia yang berpatron pada Ikhwanul Muslimin. Ingatlah bahwa rakyat akan berpihak kepada mereka yang memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan yang melulu memikirkan kepentingan organisasi eksklusif-transnasional.
Dan bagi kita bangsa Indonesia, kisruh Mesir harus dijadikan pelajaran, bukannya malah ikut berseteru demi mendukung (atau tidak mendukung) presiden sebuah negara yang letaknya ribuan kilo dari kita. Pernyataan mantan Dubes Indonesia untuk Mesir, AM Fachir (dalam acara talkshow tentang Mesir di Museum KAA, 18/7/13) penting untuk digarisbawahi. Fachir menyatakan bahwa perbedaan utama Mesir dan Indonesia adalah bahwa Indonesia memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Di Mesir, konflik menjadi sangat tajam dan mengarah kepada perang saudara karena semua pihak berkeras kepala dengan kebenaran yang dipegang masing-masing. Karena itu, kita perlu kembali berpegang teguh kepada Pancasila. Kita menyembah Tuhan yang satu dan memiliki harapan yang sama: Indonesia yang damai dan makmur. Konflik di luar negeri adalah untuk diambil hikmah, bukan malah diimpor dan dijadikan bahan untuk memecah belah bangsa sendiri. []
*mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, peneliti tamu pada Global Future Institute, penulis buku ‘Prahara Suriah’
artikel ini dimuat di The Global Review dan IRIB Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar